Kamis, 23 Oktober 2008

Generasi Digit@l vs Generasi Analog (atrikel untuk anak muda dari pendidik orang muda yang (tentu saja) berjiwa muda)


Siapa yang tidak kenal Yahoo! Messanger, MSN, Friendster, Facebook, Youtube hingga Blogspot dan Multiply ? Kalau kamu mengaku anak muda yang ngga gaptek alias Gagap Teknologi, tentunya istilah di atas bukan hal yang asing, bahkan sudah menjadi “menu wajib” kita sehari hari.

Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa kamu sebagai anak muda sekarang hidup dalam era digital, sehingga tidaklah salah kalau kita seringkali disebut sebagai Generasi digital. Chatting dapat kita lakukan dimana saja berkat teknologi 3G, internet bukan lagi barang mahal, bahkan sekarang dengan selembar uang plastic merah kita dapat memperoleh koneksi internet tanpa batas sebulan penuh. Lalu, benarkah kamu sebagai anak muda yang melek teknologi ini menjadi apatis alias cuek terhadap lingkungan ?

Bukan satu dua kali pastinya kamu mendengar teguran orangtuamu yang memperingatkan agar mengurangi waktu bermain internet, atau ber-SMS ria dengan teman-temanmu. Pembatasan hingga pencabutan fasilitas internet menjadi ‘ancaman’ yang ‘mau tidak mau’ membuatmu pada akhirnya harus merelakan kesenangan kita berchatting, mengurangi serunya berbalas comment di situs Friendster, bahkan asyiknya mendownload lagu lagu-lagu favorit dari Youtube pun harus dibatasi.

Dan sebagai gantinya mereka memintamu keluar dari karnet (alias kamar internet) yang super nyaman itu dan berkumpul dengan mereka sekedar untukmenonton televisi dan ngobrol atau (yang menurutmu lebih menyebalkan lagi) menyuruhmu mengerjakan PR serta belajar.

Kekhawatiran orangtua
Majalah Time (19/3/2008) menyebutkan bahwa dengan stimulasi SMS, MP3, telepon, dan chatting, yang bersifat terus-menerus pada anak-anak akan terbentuk ketidakpekaan dan ketidakacuhan saat mereka berusia 25 atau 30 tahun nanti. Ya, tidak terelakkan lagi, inilah kekhawatiran orang tua (kita sebut saja dengan ‘Generasi Analog’ terhadap generasi digital hari-hari ini.

Terlalu berlebihankah kekhawatiran orang tuamu ? Kadang kita sebagai anak muda yang melek teknologi menganggap orangtua kita kuno dan ketinggalan jaman bahkan tidak mengerti dunia kita. Sebenarnya itu adalah kekhawatiran yang wajar manakala kualitas hubungan dengan orangtua kita menuju ke titik kritis. Karena bagaimanapun orangtua kita tetap mengharapkan kita memiliki koneksi yang baik dengan mereka, bukan hanya dengan teman teman kita di dunia maya.

“Jadi, haruskah aku melepaskan dunia digital dan kembali kepada dunia analog atas nama berbakti kepada orang tua?” Mungkin itu pertanyaan yang terbersit dalam pikiranmu. Tentu saja tidak. Bersembunyi dari teknologi menunjukkan bahwa kamu menyerah pada keadaan. Dan itu sama sekali bukan ciri generasi maju. Tentunya sebagai anak muda yang smart dan beretika, kamu mampu untuk memadukan perbedaan pandangan dan kepentingan yang (pasti) terjadi antara kamu (generasi digital) dan orangtuamu (generasi analog).

Mendamaikan Generasi Digital vs Generasi Analog
Karena kita tidak mungkin menuntut orang lain (orangtua.red) untuk berubah, dan perubahan itu hanya bisa dimulai dari diri kita sendiri; jangan sampai perubahan dunia yang semakin maju tidak diikuti oleh perubahan pikiran (dan sikap) yang menuju pada kemajuan.

So, gimana caranya mendamaikan Generasi Digital vs Generasi Analog (Ingat bahwa dalam hal ini kitalah yang harus berubah terlebih dahulu) :
1. Sadari dan pahamilah bahwa mereka berasal dari dunia yang berbeda
Sama dengan keherananmu dengan kesukaan mereka terhadap lagu keroncong misalnya, demikianlah pula keheranan mereka terhadap begitu sukanya kita “ngobrol dengan computer”. Inilah hal pertama yang sangat penting kamu lakukan, tanpanya rumahmu akan menjadi arena perang antar dua generasi setiap harinya.

2. Sediakan waktu untuk berkumpul bersama keluarga.
Jangan lupa bahwa kamu adalah seorang anak yang notabene dalam adat ketimuran masih ada dalam tanggung jawan orangtua kita. Jadi sangatlah wajar kalau mereka mengharapkan menatap wajah kita (bukan hanya mendengar suara kita) dan mengetahui kabar kita. Toh itulah salah satu tanda perhatian mereka kepada kita. Tentunya kita tidak mau kalau kita diabaikan kan ?

3. Kerjakan tanggung jawabmu sebagai pelajar dengan baik
Mencari bahan tugas di internet bukan menjadi alasan untuk berlama-lama di depan computer tanpa tujuan (apalagi hanya untuk bermain game online). Ingatlah bahwa kalau orangtuamu (yang bisa jadi bahkan tidak mengerti tentang internet) memberimu fasilitas internet (atau mengizinkanmu ke warnet), itu karena mereka percaya bahwa kamu adalah anak yang bisa dipercaya. So, lakukan tanggung jawabmu sebagai pelajar dengan baik dan jangan sia-siakan pekercayaan mereka.

4. Bermainah bersama orangtuamu (hah…ngga salah nih ?)
Tentu saja tidak sobat muda. Mungkin kamu berpikir bahwa akan membuang banyak waktu untuk mengajarkan orangtuamu YM, Facebook, dll sedangkan untuk sms saja mereka seringkali masih kesulitan. Namun dengan mengikutsertakan mereka dalam aktivitasmu di dunia maya akan meningkatkan kepercayaan mereka terhadapmu serta menunjukkan bahwa kamu mengasihi dan menghormati mereka. Tentunya kamu juga akan lebih suka kalau kamu punya orangtua yang lebih ‘gaul’ kan ya ?

Copyright by Yohanna Adriana

Senin, 20 Oktober 2008

My Fortress

INi salah satu karya mantan muridku, so inspire..JOshua with "My Fortress"

Kamis, 16 Oktober 2008

Di tengah Masa Kesesakan, Taburlah Suatu Benih


Salah satu tantangan terbesar yang kita hadapi dalam pencarian kita untuk menikmati kehidupan terbaik kita adalah godaan untuk hidup dengan mementingkan diri sendiri. Di zaman yang sertba individualis ini kita diajarkan untuk menjadi nomor satu. “Apa keuntunganku di situ?” Aku akan menolongmu, tetapi apa yang akan kudapatkan sebagai imbalannya?” Seringkali pikiran tersebut terbersit dalam pikiran kita dalam hubungan kita dengan orang lain bahkan dengan Tuhan.

Namun kadangkala kita lupa Tuhan tidak pernah menciptakan kita untuk hidup bagi diri sendiri. Siapapun manusia di dunia ini, tanpa memandang suku bangsa, warna kulit, usia bahkan agama; diciptakan untuk menjadi seorang pemberi. Oleh karena itu kita tidak akan pernah benar-benar puas sebagai seorang manusia sebelum kita menjadi seorang pemberi, karena itulah hakikat kita sebagai manusia.

Ketika kita terperangkap dalam kemarahan, kekhawatiran, mengasihani diri sendiri dll, saat kita menenggelamkan diri dalam masalah-masalah dalam saya, itulah rumus untuk depresi dan keputusasaan. Jadi apabila kita sekarang berada dalam depresi dan keputusasaan, marilah kita tilik hati kita yang terdalam, apakah kita saat ini lebih mementingkan diri kita sendiri atau kita berfokus kepada Tuhan dan orang lain.

Dengan demikian salah satu solusi agar kita keluar masalah yang kita hadapi adalah dengan menolong orang lain menyelesaikan masalahnya. Benarkah itu ? Ya. Mulailah dengan menabur suatu benih agar Tuhan dapat mendatangkan panen bagi kita. Saat kita memiliki masalah dalam financial, bagikan sebagian uang yang kita miliki untuk memberi sedekah kepada orang yang memerlukan, memberi lebih banyak dari persembahan kita, atau jika kita tidak memiliki kelebihan uang kita dapat memberikan senyuman kepada orang asing yang kita temui dalam perjalanan kita. Apabila kita kesepian dan kakurangan sahabat, menabur kasih dan kehangatan kepada sesama kita adalah benih yang subur yang dapat kita tabur. Saat kita ingin menyaksikan kesembuhan dan pemulihand alam kehidupan kita, tolonglah seseorang menjadi pulih dan sembuh. Intinya, saat kita menjangkau orang lain yang membutuhkan, Tuhan akan memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan kita sendiri disediakan olehNya.

Alkitab menyebutkan, “Dalam masa-masa kesukaran, percayalah kepada Tuhan dan lakukanlah yang baik.” TIdak cukup hanya mengatakan kepada TUhan, “Tuhan aku percaya kepadamu. Aku tahu bahwa Engkau akan memenuhi semua kebutuhanku.” Itu sam dengan petani yang tidak menanam benih apapun dan mengharapkan panen yang luar biasa. Firman TUhan mengatakan bawha ada dua hal yang harus kita lakukan dalam masa-masa kesukaran. Pertama, kita harus mempercayai Tuhan dan kedua, kita harus pergi dan melakukan sesuatu yang baik.

John Bunyan, penulis buku klasik The Pilgrim’s Progress berkata, “Engkau belum hidup hari ini sebelum engkau melakukan sesuatu untuk orang yang tidak dapat membayar kembali kepadamu”. Dalam masa kesukaran, jangan hanya duduk-duduk sambil merasa kasihan kepada diri sendiri. Pergi dan taburlah sebutir benih. Bahkan kita tidak perlu menunggu sampai mempunyai suatu masalah sebelum kita mulai menabur. Kita seharusnya terus-menerus mencari cara-cara agar kita dapat menjadi berkat, bukan hanya saat kita membutuhkan. Kita seharusnya bangun setiap pagi dengan mencari berbagai cara untuk menolong orang lain. Jika kita mau melakukannya, Alkitab berkata bahwa berkat-berkat Tuhan akan mengejar dan merebut kita.

Lomba 17an vs Digital Magazine



Apa hubungannya lomba 17an, digital magazine apalagi dengan sosok salah satu muridku ini ? Beberapa hari yang lalu aku baru menemukannya. Hubungan yang saling bertolak belakang antara lomba 17an dan digital magazine, dimana lomba 17an berbanding terbalik dengan RIvaldo, dan Rivaldo berbanding lurus dengan digital magazine. Mungkin kita akan semakin bingung dengan pernyataanku diatas. Ini tidak ada hubungannya dengan persamaan kuadrat apalagi trigonometri. Sama sekali bukan. Ini adalah satu kisah yang kualami dengan salah sorang anakku di kelas Xb.

Masih lekat diingatanku bagaimana susahnya menyemangati, mendorong, atau bahkan menyuruh anak-anak di kelas Xb untuk mengikuti lomba 17an yang lalu. Meski ‘diancam’ dengan denda apabila tidak mengikuti salah satu lomba, tidak menyurutkan aksi mereka untuk mogok berpartisipasi dalam salah satu perhelatan bangsa yang paling meriah ini. Apa daya, dengan segenap upaya akhirnya mereka ikut serta dalam satu-satunya lomba yang membutuhkan kemeriahan (yang merupakan salah satu kelebihan mereka), yaitu lomba vocal group. Lomba yang lain ? Seperti yang telah mereka katakana sebelumnya, mereka tetap bersikukuh untuk tidak mengikutinya. AKu hanya bisa tertawa kecil saat pembina OSIS menanyakan nasib kelasku ini.

Meski dengan segala keterbatasan dalam persiapan, akhirnya tampillah mereka dengan membawakan lagu “Merah Putih” sebagai lagu wajib plus lagu “17 Agustus” sebagai lagu pilihan. Sebagai catatan, alasan mereka memilih lagu pilihan tersebut adalah benar karena salah satunya adalah dalam rangka memperingati kemerdekaan Indonesia, namun alasan utamanya adalah kerena di lagu tersebut ada nama orangtua salah seorang anggota kelasnya, yang pastinya disebutkan berkali-kali yaitu “ setia” (nb : mulai dari saat itu aku selalu menghindari menyanyikan lagu rohani pembuka wisdom yang menyebutkan kata ‘setia’ karena akan membuat wisdom akan diiringi oleh cekikikan mereka ).

Saat mereka menyanyikan lagu pilihan yang heroik itu, tampillah ‘sang komandan’ yaitu si Rivaldo ini, berlari dengan gagahnya dari barisan belakang, memimpin anggota pasukannya menyanyikan lagu “17 Agustus” dengan ‘segenap hati’. Sambutan yang begitu meriah atas penampilan mereka seakan melunturkan keletihanku selama beberapa hari ini.

Lantas apa hubungannya dengan Digital Magazine ? Mengapa Digital Magazine bisa bertolak belakang dengan lomba 17an dan berbanding lurus dengan RIvaldo. Tentu saja ada hubungannya. Apabila kuingat bagamana susahnya aku untuk menyemangati (bahkan membujuk) mereka untuk mengikuti lomba 17an sehingga kelas XB ini termasuk kelas yang paling rendah partisipasinya, bertolak belakang sekali dengan partisipasi mereka dalam lomba Digital Magazine yang sedang berlangsung bulan Sept-Okt ini. Saat kuumumkan di kelas bahwa ada lomba Digital Magazine (membuat blog untuk OSIS) ini, serta merta terdengan kasak-kusuk di bagian belakang kelas yang dimotori oleh Joshua dkk. Akhirnya didukung dengan cetusan salah saorang muridku yang bernama Joshua, yang mengatakan bahwa Rivaldo adalah jagoan dalam membuat blog, terpilihlah sang komandan kelas ini menjadi salah satu partisipan utama dalam proyek ini. Bersama dengan salah satu wakil dari kelas XA, majulah mereka dengan antusias menemui Ibu Sylvi, guru computer sekolah kami untuk mendaftarkan diri.

Dalam salah satu kesempatan, aku mendengar cerita Bu Sylvi tentang betapa kagetnya koordinator OSIS sekolah kami saat ia mendengar jawaban Bu Sylvi tentang siapa saja yang telah mendaftar dalam lomba Digital Magazine ini, yang ternyata adalah kelas XAdan XB dan diwakili oleh Albert G dan Rivaldo. Pastinya ia tidak menyangka bagaimana antusiasnya anak-anakku dalam lomba ini.

Dari peristiwa ini aku jadi makin mengenali anak-anakku. Apa yang menjadi kesukaan dan talenta mereka. Selain itu aku juga jadi lebih semangat lagi dalam mendidik mereka ternyata mereka benar-benar anak-anak yang unik, meski seringkali membuatku bingung dengan kemeriahan tingkah polah mereka yang membutku tertawa dan kadang sakit kepala , namun aku yakin bahwa mereka adalah anak-anak yang luar biasa.

Desakan untuk mencapai Keutuhan


"Jika Anda berusaha untuk menemukan hubungan yang intim dengan orang lain sebelum memahami identitas diri Anda sendiri, maka semua hubungan Anda akan menjadi suatu upaya untk melengkapi diri Anda"

Mari kita bersikap jujur. Banyak diantara kita yang pada suatu ketika dalam kehidupan kita merasa seakan-akan ada sesuatu yang hilang. Kita semua telah bergumul dengan kesepian. Kita semua pernah merasa terpisah, tidak diterima, tersisih dari kelompok di mana kta ingin menjadi bagian di dalamnya. Dan ketika kita mendapati diri kita berada di dalam ruang kosong ini, biasanya kita mencari di luar diri kita –sering kali dengan paksa- sesuatu atau seseorang untuk mengisinya.

Kita berbelanja, minum, makan, atau melakukan apa saja untuk mengalihkan diri kitadari rasa sakit karena merasa sendiri. Sering kali, kita berkata kepada diri kita sendiri (bahkan tanpa kita sadari), “Jika saya menemukan orang yang tepat, hidup saya akan lengkap.” Sayang sekali, masalahnya tidak sesederhana itu. Jiak memang sesederhana itu, kita akan mempunyai sahabat-sahabat yang tidak pernah meninggalkan kita dan pernikahan yang tidak pernah mengalami keretakan. Yang benar adalah bahwa penyebab kehampan diri kita bukanlah masalah kehilangan seseorang dalam diri kita, namun masalah ketidak-lengkapan jiwa kita.

Untuk membangun hbungan yang sehat, kita harus berada di dalam suatu keutuhan, suatu rasa menghargai diri sediri dan suatu konsep diri yang sehat (baca lagi pernyataan di atas). Sosiolog perintis George Herbert Mead dikenal karena perkataannya,”DIri kita ada hanya dalam hubungan dengan diri orang lain.” Dengan kata lain, mempunyai suatu hubungan, menjadi anggota suatu komunitas membantu kita untu menemukan siapa diri kita. Walaupun hubungan merupakan jalan untuk menemukan diri sendiri, namun hubungan tidak menjamin pengembangan diri yang utuh. Itulah hambatannya, jika kita sendiri belum mencapai suatu pemahaman yang mendalam tentang siapa kita, kita ditakdirkan untuk mempercayai salah satu dari dua kebohongan licik yangpasti merusak semua hubungan kita : (1) Saya memerlukan orang ini untuk menjadi utuh, dan (2) Jika orang ini memerlukan saya, saya kan menjadi utuh.

(1) Saya memerlukan orang ini untuk menjadi utuh
Terlalu banyak orang mengikatkan diri kepada orang lain untuk mendapatkan persetujuan, penguatan, tujuan, keamanan dan tentu saja, identitas. Dan ketika kekecewaan yang tak terelakkan terjadi, mereka mengeluh dengan sengit bahwaorang ini menjatuhkan mereka.
Yang benar adalah bahwa harga diri tidak berasal dari eksistensi atau kehadiran seseorang dalam kehidupan kita. Ketika kita menjalin sebuah hubungan yang tidak memiliki penghargaan pribadi, yang bisa kita berikan hanyalah kemiskinan. Dan bahkan jika kita memenangkan hati orang lain, kita tetap akan, dari waktu ke watu, merasa hampa. Itulah racun dari kebohongan ini.
Mengharapkan orang lain baik itu seorang sahabat, pasangan kencan atau pasangan kita- untuk memerlengkapi kita dengan kehidupan merupan suatu yagn tidak realistis dan benar-benar tidak adil. Memberi kita identitas atau membuat kita utuh bukanlah tugas orang lain. ORang-orang dalam kehidupan kita dimaksudkan untuk mmbagikannya, bukan menjadi identitas kita.

2) Jika orang ini memerlukan saya, saya kan menjadi utuh.
Bagi kita yang mempercayai kebohongan ini , menjadikan orang lain hanyalah sebuah proyek, suatu prestasi yang bisa ditulis dalam rangkuman hubungan kita. Kita tidak harus menghormati orang tersebut; sekedar dibutuhkan oleh orang tersebut sudah cukup membuat mereka merasa lebih baik tentang diri mereka, paling tidak untuk sementara. Dan kita juga tidak sekedar mencari seseorang untuk diperhatikan, yang sebenarnya kita pedulikan adalah impian membuat orang lain memperhatikan kita.

Rabu, 15 Oktober 2008

Bila pengampunan didefinisikan...

Pengampunan bukanlah menutupi rasa sakit
Pengampunan mengakui rasa sakit itu memang ada
Tetapi bersedia untuk disembuhkan
Pengampunan bukanlah membenarkan kesalahan
Pengampunan mengakui telah diperlakukan tidak adil
Tetapi bersedia untuk tidak menuntut balas

Pengampunan tidak berarti bersedia menjadi korban
Melainkan sebuah keputusan untuk menang dari luka-luka
Pengampunan tidak berarti menerima dengan pasrah
Melainkan sebuah pilihan untuk menjadi bijak
Pengampunan bukanlah sikap hati yang lemah
Melainkan bukti kekuatan respon yang dewasa

Pengampunan bersedia melepaskan hak
Untuk marah
Untuk meyimpan rasa sakit
Untuk membenarkan diri
Untuk menjatuhkan vonis
Untuk menuntut balas
Pengampunan mengambil tanggung jawab
untuk berdamai dengan diri sendiri

Pengampunan membangun reruntuhan kehidupan yang hancur
Merajut kembali hati yang patah
Menghadirkan kasih yang tak pernah gagal
Dan tidak mengizinkan kepahitan tinggal lebih lama

Pengampunan mecegah depresi berkunjung
Mempertahankan diri dari virus penyakit
Dan menghindarkan bahaya sengatan maut

Pengampunan tidak cukup dilakukan sekali-kali
Tetapi ditetapkan terus menerus

Pengampunan tersenyum pada masa lalu
Dan tertawa untuk hari depan
Juga mengembalikan keindahan hari ini
Pengampunan memproklamirkan kemerdekaan sejati
Di sepanjang rentang waktu kekekalan

Pengampunan tidak mustahil dilakukan
Bila dimulai dari Golgota....

http://sylvisharelife.blogspot.com/2008/09/bila-pengampunan-didefinisikan.html